Selasa, 23 November 2010
Diwarnai Berbagai Kegaiban dan Keajaiban
Prosesi upacara pengabenan Minak  Jinggo yang berlangsung sangat sederhana itu, diwarnai berbagai  keajaiban dan kegaiban. Di tempatnya prosesi pengangkatan kepala Minak  Jinggo, puluhan penampakan sempat terekam di kamera wartawan TBA. Begitu  memasuki perbatasan hutan Alas Purwo, rombongan disambut puluhan ribu  kupu-kupu putih. Pun, setibanya di sekitar pura, tiba-tiba rombongan  disambut suara petir menggelegar cukup keras serta suara burung gagak  dan  di saat prosesi penyatuan jazad  berlangsung, puluhan ekor ikan  berloncatan di tengah laut. Seperti apa jalannya prosesi pengabenan itu?  Berikut perburuan wartawan Bali Aga ke Alas Purwo di Banyuwangi, Jawa  Timur.
Rombongan berangkat dari Bali menuju  Trowulan, Mojokerto Jatim menggunakan 6 buah kendaraan. Rombongan yang  berasal dari Karangasem berangkat melalui jalan jurusan  Singaraja-Karangasem, sedangkan rombongan dari Denpasar melalui jalan  jurusan Denpasar-Gilimanuk, kemudian bertemu di Dermaga Ketapang,  Banyuangi.
Keanehan pun terjadi, di mana rombongan  dari Denpasar yang dipimpin I Gusti Agung Harsana dari Puri Kamasan,  Sempidi, Badung yang semestinya lebih dahulu tiba di Dermaga  Ketapang,Banyuangi justru tiba belakangan dari rombongan Karangasem di  bawah pimpinan Bunda Ratu Ardenareswari Masceti.
“Padahal, sebelumnya rombongan Denpasar  mengatakan lebih dahulu berangkat dan akan menunggu di pelabuhan  dimaksud. Mestinya kan lebih awal tiba di Dermaga Ketapang. Tetapi  kenyataannya, justru rombongan dari Karangasem yang lebih dahulu  sampai,” ujar Jro Mangku Nyoman Suarjana yang tiada lain adalah suami  Bunda Pertiwi dengan nada keheranan seraya mengatakan, mungkin memang  tidak diboleh mendahului Bunda Ratu, melainkan harus berangkat  beriringan.
Selanjutnya dengan beriringan, rombongan  melanjutkan perjalanan menuju Trowulan, Mojokerto, lewat jalur utara  yakni melewati hutan jati. Sepanjang perjalanan menuju Trowulan,  Mojokerto beberapa kali sempat salah jalur, sehingga harus bertanya  kepada warga yang ditemui, sehingga tidak sampai tersesat.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup  melelahkan, akhirnya rombongan memutuskan untuk beristirahat melepas  lelah sekaligus membersihkan diri dan minum kopi di salah satu pom  bensin yang berada tak jauh dari lokasi rumah Jro Mangku Pura Majapahit,  Jro Mangku Srikandi.
Setelah badan terasa segar kembali,  rombongan lanjut menuju ke rumah Jro Mangku Srikandi. Di sini, rombongan  disambut Jro Mangku bersama suami, sekaligus berkesempatan menikmati  suguhan seadanya, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan sesuai jadwal  yang telah diprogramkan.
Roh Minak Jinggo Turun Lewat Raga Bunda Pertiwi
Sebelumnya, sekelompok spiritual yang juga merupakan salah satu pretisentana-nya  Minak Jinggo, raja Blambangan yang tersohor ini mendapat pawisik agar  jasadnya disatukan dan dibuatkan sebuah upacara pengabenan, walaupun  dengan cara sederhana sekali pun. Konon, Beliau meninggal akibat  dimutilasi (badannya dipotong-potong kemudian dibuang di tempat   terpisah).
 
Selama ratusan tahun, tidak ada satu pun  orang yang mau memperhatikan jasadnya itu, sehingga awrahnya terus  tung-katung tidak tentu arah. Sampai akhirnya Minak Jinggo mendatangi  salah satu pertisentana-nya walaupun tidak secara garis  vertikal yang ada di Bali, meminta bantuan untuk menyatukan anggota  tubuhnya sekaligus membuatkan upacara pengabenan.
Ditemui di sela-sela kesibukannya  melaksanakan upacara pengabenan di pantai selatan sekitar kawasan hutan  Alas Purwo, I Gusti Agung Anom Harsana dari Puri Kamasan Sempidi, Badung  ini menjelaskan, prosesi pengabenan ini berlangsung berawal dari  sebelumnya I Gusti Agung sempat dirundung masalah berat dalam  keluarganya.
Sampai akhirnya, sekitar tahun 2000, di  tengah kebingungannya itu Gusti Agung bertemu dengan salah seorang  paranormal yang bernama Pak Putu. Dalam pertemuannya itu, Pak Putu tahu  persis apa yang menyebabkan dirinya didera permasalahan yang sangat  berat itu. Penyebabnya tiada lain, karena masih ada leluhurnya yang  terkatung-katung dan berada di laut. Untuk itu, jika ingin keluar dari  masalah berat itu, Gusti Agung diminta untuk mengangkat leluhurnya yang  konon dibunuh secara massal dan dimutilasi.
“Tiang sempat heran, kenapa Pak Putu itu  tahu persis masalah yang sedang tiang alami/hadapi, padahal sebelumnya  tidak pernah bertemu terlebih saling kenal. Akhirnya, sampai di Puri,  tiang berusaha mencari tahu/menelusuri leluhur yang dimaksud. Tetapi,  setelah ditanyakan ternyata tidak ada leluhur yang belum dibuatkan  upacara. Tiang kembali dibuat bingung dan terus menjadi beban pikiran,”  ujar I Gusti Agung Harsana menjelaskan, seraya menambahkan berbekal  keyakinan penuh, berusaha mendak leluhurnya dimaksud dan selanjutnya dilinggihkan di puri.
0 Comments:
				Subscribe to:
				
Posting Komentar (Atom)

Posting Komentar